Rabu, 19 Juni 2013


BAB I

PENDAHULUAN

Tugas utama seorang guru adalah membelajarkan siswa. Belajar berarti bila bahwa guru bertindak mengajar, maka diharapkan siswa berajar atau belajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah ditemukan hal-hal berikut. Guru telah mengajar dengan baik. Ada siswa yang giat. Ada siswa yang pura-pura belajar. Ada siswa yang belajar setengah hati. Bahkan ada pula siswa yang tidak belajar. Guru bingung menghadapi keadaan siswa. Guru tersebut berkonsultasi dengan guru konselor sekolah. Kedua petugas pendidik tersebut menemukan adanya masalah-masalah yang dialami siswa. Ada masalah yang dapat diselesaikan oleh konselor sekolah. Adapula yang dkonsultasikan dengan ahli psikologi. Guru menyadari bahwa dalam tugas pembelajaran ternyata masalah-masalah belajar dialami siswa. Bahkan guru harus memahami bahawa kondisi lingkungan siswa juga dapat menjadi sumber timbulnya masalah-masalah belajar.

Guru professional berusaha mendorong siswa agar belajar secara berhasil. Ia menemukan bahwa ada bermacam hal yang menyebabkan siswa belajar.ada siswa yang tidak belajar karena dimarahi oleh orang tua. Ada siswa yang enggan belajar karena pindah tempat tinggal. Ada siswa yang sukar memusatkan perhatian waktu guru mengajarkan topic tertentu. Ada pula siswa yang giat belajar karena bercita-cita menjadi seorang ahli. Bermacam-macam keadaan siswa tersebut menggambarkan bahwa pengetahuan tentang masalah-masalah belajar merupakan hal yang sangat penting bagi guru atau calon guru.
Dalam makalah ini kami membahas mengenai kondisi belajar dan masalah-masalah belajar,serta cara mengatasi masalah belajar.







BAB II

PEMBAHASAN


A. Definisi Kondisi Belajar

Gagne membagi kondisi belajar atas dua, yaitu:

1. Kondisi internal (internal condition) adalah kemampuan yang telah ada pada diri individu sebelum ia mempelajari sesuatu yang baru yang dihasilkan oleh seperangkat proses transformasi (ingat information processing theory Gagne).

2. Kondisi Eksternal (eksternal condition) adalah situasi perangsang di luar diri si belajar. Kondisi belajar yang diperlukan untuk belajar berbeda-beda untuk setiap kasus. Begitu pula dengan jenis kemampuan belajar yang berbeda akan membutuhkan kemampuan belajar sebelumnya yang berbeda dan kondisi eksternal yang berbeda pula.


B. Masalah-masalah Belajar Internal dan Eksternal

Secara umum kondisi belajar internal dan eksternal akan mempengaruhi belajar. Kondisi itu antara lain, pertama, lingkungan fisik. Lingkungan fisik yang ada dalam proses dan di sekitar proses pembelajaran memberi pengaruh bagi proses belajar. Kedua, suasana emosional siswa. Suasana emosional siswa akan memberi pengaruh dalam proses pembelajaran siswa. Hal ini bisa dicermati ketika kondisi emosional siswa sedang labil maka proses belajarpun akan mengalami gangguan. Ketiga, lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang berada di sekitar siswa juga turut mempengaruhi bagaiman seorang siswa belajar.

Masalah-masalah internal yang dialami siswa yang berpengaruh pada proses belajar terurai sebagai berikut:

1.    Sikap terhadap Belajar

Sikap merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang sesuatu, yang membawa diri sesuai dengan penilaian. Adanya penilaian terhadap sesuatu mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak, atau mengabaikan. Akibat penerimaan, penolakan, atau pengabaian dapat berpengaruh pada perkembangan kepribadian. Oleh karena itu, ada baiknya siswa mempertimbangkan masak-masak akibat sikap belajar.

2.    Motivasi Belajar

Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong terjadinya proses belajar. Motivasi belajar sangat berpengaruh pada aktifitas belajar, bila motivasi tersebut melemah mutu hasil belajar akan menjadi rendah. Motivasi belajar perlu diperkuat secara terus menerus supaya kuat, untuk mengoptimalkan  perlu didukung pula suasana belajar yang menyenangkan.

3.    Konsentrasi Belajar

Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran. Disini diperlukan peran guru dalam menerapkan strategi-strategi belajar mengajar dan memperhitungkan waktu belajar serta selingan istirahat. Maka perhatian dan prestasi belajar dapat ditingkatkan.

4.    Mengolah Bahan Belajar

Mengolah bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk menerima isi dan cara pemerolehan ajaran sehingga menjadi bermakna bagi siswa. kemampuan siswa mengolah bahan belajar akan menjadi baik jika siswa berpeluang aktif dalam belajar. Disisi guru, pada tempatnya menggunakan proses, inkuiri, ataupun laboratori.  


5.    Menyimpan Perolehan Belajar

Menyimpan perolehan hasil belajar merupakan kemampuan menyimpan isi pesan dan perolehan pesan.kemampuan menyimpan pesan ini ada yang pendek dan ada yang lama, atau bahkan seumur hidup, proses ini merupakan saat memperkuat hasil belajar. Pebelajar menggunakan berbagai teknik belajar agar tersimpan dalam ingatan, penghayatan dan keterampilan jangka panjang. Sikap, konsentrasi, dan pengolahan bahan belajar sangat mempengaruhi pada fase ini. Ada gangguan pada salah satu fase ini baik sendiri-sendiri maupun gabungan akan menghasilkan hasil belajar yang kurang baik.

6.    Menggali Hasil Belajar yang tersimpan 

Menggali hasil belajar merupakan proses mengaktifkan pesan yang telah diterima. Penggalian hasil belajar yang tersimpan ada hubungannya dengan baik atau buruknya penerimaan, pengolahan, dan penyimpanan pesan. Siswa akan mengalami gangguan dalam menggali pesan dan kesan lama. jika tidak memperhatikan pada saat penerimaan, maka akan berpengaruh tidak baik pada proses penyimpanan dan akan sulit pada proses pengolahan.

7.    Kemampuan Berprestasi atau Unjuk Hasil Kerja

Kemampuan Berprestasi atau Unjuk Hasil Kerja merupakan suatu puncak proses belajar. Pada tahap ini siswa membuktikan kemampuanya dalam proses-proses penerimaan, pengaktifan, pra-pengolahan, penyimpanan, serta pemanggilan untuk pembangkitan pesan dan pengalaman. Bila proses-proses tersebut tidak baik, maka siswa dapat berprestasi kurang atau juga dapat gagal berprestasi jadi perlu upaya dalam mengoptimalkan proses-proses tersebut yang sudah dijelaskan diatas.




8.   Rasa Percaya diri Siswa

Rasa percaya diri muncul dari keinginan mewujudkan diri bertindak dan berhasil. Pengakuan umum dari keberhasilan dapat membuat rasa percaya diri semakin kuat. Hal yang sebaliknya dapat terjadi bila kegagalan yang berulang sering dialami dapat mengakibatkan rasa tidak percaya diri. Pada tempatnya guru mendorong keberanian terus menerus, memberikan bermacam-macam penguat, dan memberikan pengakuan dan kepercayaan bila siswa telah berhasil, disamping itu diperlukan sikap positif dan usaha keras pada siswa.

9.    Intelegensi dan Keberhasilan Belajar

Menurut Wechler (Monk & Knoer, Siti Rahayu Haditiono) Intelegensi merupakan suatu kecakapan global atau rangkuman kecakapan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara baik, dan bergaul dengan lingkungan secara efisien. Yang menjadi masalah adalah siswa yang memiliki intelegensi dibawah normal. Ini akan mempengaruhi perolehan hasil belajar. Oleh karena itu pada tempatnya mereka didorong untuk belajar di bidang-bidang keterampilan sebagai antisipasinya. Penyediaan kesempatan belajar diluar sekolah, merupakan langkah bijak untuk mempertinggi taraf kehidupan warga Indonesia.

10.   Kebiasaan Belajar

Ke-tidak mengertian siswa pada arti dan pentingnya belajar bagi diri sendiri memunculkan kebiasaan-kebiasaan buruk seperti belajar tidak teratur, menyianyiakan kesempatan belajar dll. Hal ini dapat diperbaiki dengan pembinaan disiplin pembinaan diri. Suatu pepatah dan berbagai petunjuk tokoh teladan misalnya, dapat menyadarkan siswa tentang pentingnya belajar. Pemberian penguat dalam keberhasilan belajar dapat mengurangi kebiasaan kurang baik dan membangkitkan harga diri siswa.



11.   Cita-Cita Siswa

Cita-cita merupakan motivasi intrinsik, dan perlu didikan. Didikan cita-cita harus dimulai sejak sekolah dasar. Disekolah menengah didikan mengenai cita-cita sudah semakin terarah karena akan sangat bedampak buruk bila pencapaian cita-cita tidak benar. Didikan pemilikan dan pencapaian cita-cita sebaiknya berpangkal dari kemampuan berprestasi, dimulai dari hal yang sederhana ke hal yang semakin sulit. Dengan mengaitkan pemilikan cita-cita dengan kemampuan berprestasi, maka diharapkan siswa berani bereksplorasi sesuai dengan kemampuan dirinya sendiri.  

Contoh dari masalah belajar internal dapat dilihat dari kasus berikut:

Ita gadis cilik berusia 9 tahun. Akhir-akhir ini prestasinya sangat menurun. Hasil ulangannya selalu buruk kalau soal-soal ulangan ditulis di papan tulis. Namun ketika ujian sumatif, hasil ulangan Ita tidak begitu buruk. Soal-soal ulangan dicetak dan dibagikan kepada setiap murid. Namun demikian, peringkat Ita di kelas turun drastis, dari peringkat 5 menjadi peringkat 20. Dari kasus di atas dapat dilihat, masalah yang ditekankan adalah kemampuan indera untuk menangkap rangsangan. Ita tampaknya mempunyai kesulitan dalam penglihatan. Ini terbukti dari berbedanya hasil yang dicapai antara ulangan harian yang soalnya ditulis di papan tulis dengan ulangan sumatif yang soalnya dicetak dan dibagikan kepada setiap murid.

Masalah-masalah eksternal yang dialami siswa yang berpengaruh pada proses belajar terurai sebagai berikut:

1. Guru Sebagai Pembina Siswa Belajar
Guru adalah pengajar yang mendidik. Ia tidak hanya mengajar bidang studi yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi pendidik generasi muda bangsanya. Guru juga menumbuhkan diri secara professional. Ia bekerja dan bertugas mempelajari profesi guru sepanjang hayat.

2. Prasarana Dan Sarana Pelajaran
Prasarana meliputi gedung sekolah, ruang belajar, lapangan olahraga, ruang Ibadah dan ruang kesenian. Sedangkan sarana pembelajaran meliputi buku pelajaran, fasilitas laboratorium dan berbagai media pembelajaran.

3. Kebijakan Penilaian
Hasil belajar merupakan hasil proses belajar, pelaku aktif dalam belajar adalah siswa. Hasil belajar juga merupakan hasil proses pembelajaran, pelaku aktif dalam pembelajaran adalah guru.

4. Lingkungan Sosial Siswa Di Sekolah.
Tiap siswa berada di dalam lingkungan social siswa di sekolah, ia memiliki kedudukan dan peranan yang diakui oleh sesame. Jika seorang siswa, diterima, maka ia dengan mudah menyesuaikan diri dan segera dapat belajar. Sebaliknya jika ia ditolak, maka ia akan merasa tertekan.

5. Kurikulum Sekolah
Program pembelajaran disekolah, berdasarkan dari suatu kurikulum, kurikulum yang diberlakukan di sekolah adalah kurikulum nasional yang didasarkan pemerintah atau suatu kurikulum yang disahkan oleh suatu yayasan pendidikan.


D. Cara Mendiagnosa Masalah Belajar dan Mengatasinya

Yang dimaksud dengan proses mendiagnosis adalah proses pemeriksaan terhadap suatu gejala yang tidak beres. Diagnosis masalah belajar dilakukan jika guru menandai atau mengidentifikasi adanya kesulitan belajar pada muridnya.

Diagnosis masalah belajar dilakukan secara sistematis dan terarah dengan langkah-langkah sebagai berikut:


1. Mengidentifikasi adanya masalah belajar

Untuk mengidentifikasi masalah belajar diperlukan seperangkat keterampilan khusus, sebab kemampuan mengidentifikasi yang berdasarkan naluri belakang kurang efektif. Gejala-gejala munculnya masalah belajar dapat diamati dalam berbagai bentuk, biasanya muncul dalam bentuk perubahan perilaku yang menyimpang atau dalam menurunnya hasil belajar. Perilaku yang menyimpang juga muncul dalam berbagi bentuk seperti: suka mengganggu teman, merusak alat-alat pembelajaran dan lain sebagainya.

2. Menelaah atau menetapkan status siswa

Penelaahan dan penetapan status murid dilakukan dengan cara:

1) Menetapkan tujuan khusus yang diharapkan dari murid

2) Menetapkan tingkat ketercapaian tujuan khusus oleh murid dengan menggunakan teknik dan alat yang tepat.

3) Menetapkan pola pencapaian murid, yaitu seberapa jauh ia berbeda dari tujuan yang ditetapkan itu.

3. Memperkirakan sebab terjadinya masalah belajar

Membuat perkiraan yang tepat adalah suatu perbuatan yang kompleks yang keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Beberapa prinsip yang harus diingat dalam memperkirakan sebab terjadinya masalah belajar:

1) Gejala yang sama dapat ditimbulkan oleh sebab yang berbeda

2) Sebab yang sama dapat menimbulkan gejala yang berbeda

3) Berbagai penyebab dapat berinteraksi yang dapat menimbulkan gejala masalah yang makin kompleks.

Analisis kasus

Seorang ibu datang kepada seorang psikolog untuk berkonsultasi tentang apa yang dialami oleh anaknya. Anak ibu tersebut yang berumur delapan tahun dan masih di kelas 1 SD karena tahun kemarin tidak naik kelas. Tahun ini, si ibu merasa kuatir anaknya tidak naik kelas lagi karena nilainya pas-pasan. Padahal, standar nilai sekarang kan tinggi. Pernah si ibu mendaftarkan anaknya untuk mengikuti tes intelejensi dan hasil IQ-nya 85.

Ayahnya sangat keras dan mengancam tidak akan menyekolahkan anaknya kalau sampai tidak naik kelas lagi. Sepintas, si anak bisa komunikasi dengan baik dan tidak terlihat bodoh. Namun, kalau materi terlalu banyak tidak bisa mengikuti. Si ibu merasa kebingungan. Dan bertanya kepada psikolog : Apa yang harus ibu lakukan ? Apa anak saya mengalami kelainan? Bagaimana solusi terbaik?

dari hasil IQ, putra ibu memang termasuk di bawah rata-rata. Kemungkinannya, anak mengalami kelambatan belajar. Namun, bukan karena dia tidak mau tetapi terbatas pada kemampuannya. Misalnya ibu sudah menyuruhnya belajar dan anak sudah melakukannya dengan waktu cukup lama dan berusaha maksimal.

Tetapi, sesampai di sekolah anak lupa atau tidak bisa mengerjakan dengan baik. Salah satu sebabnya karena kemampuan mengingat materi pelajaran dan kapasitas kemampuan anak tidak berimbang. Kalau memang si kecil dirasa kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah umum, dan tahun ini anak tidak naik kelas, ibu sepertinya harus mulai mencari sekolah alternatif.

Seperti memilih sekolah umum yang berkelas kecil, sekolah khusus anak slow leaner, atau home schooling. Sebelum memutuskan mana yang dipilih sebaiknya ibu mencari informasi mengenai dua lembaga tersebut. Dengan demikian, ibu lebih paham dan bisa memilih sekolah yang sesuai dengan keadaan keuangan, kondisi anak, dan situasi yang memungkinkan.

Lebih baik, si ibu pikirkan bersama suami agar keputusan yang diambil bisa jadi motivasi ibu dan bapak dalam memaksimalkan potensi si kecil. Dan, tidak lagi menyudutkan anak dengan segala keterbatasan yang dia miliki. Atau, menyalahkan ibu yang dianggap kurang bisa mendidik dengan baik.

Apapun yang terjadi, ibu dan bapak patut bersyukur, meskipun keadaan si kecil seperti saat ini namun secara fisik dia sehat dan bisa berkomunikasi dengan baik. Anak-anak dengan kelambatan belajar butuh ketekunan, kesabaran, dan keuletan dalam memberikan materi pelajaran. Karena, penalaran anak kurang berkembang tetapi dengan latihan terus-menerus, anak bisa mengejar ketertinggalannya.

Tumbuhkan terus motivasinya dan jangan pernah memberikan sansi fisik, hal tersebut hanya membuatnya frustasi.Ibu bisa mencari bakat dan minat anak yang mungkin menurut kita kurang berguna, tapi anak suka dan bisa melakukannya dengan enjoy.
C.    Prosedur dan Langkah-Langkah Penanggulangan Masalah Belajar
Belajar pada dasarnya merupakan proses usaha aktif seseorang untuk memperoleh sesuatu, sehingga terbentuk perilaku baru menuju arah yang lebih baik. Kenyataannya, para pelajar seringkali tidak mampu mencapai tujuan belajarnya atau tidak memperoleh perubahan tingkah laku sebagai mana yang diharapkan. Hal itu menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan belajar yang merupakan hambatan dalam mencapai hasil belajar.
Sementara itu, setiap siswa dalam mencapai sukses belajar, mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Ada siswa yang dapat mencapainya tanpa kesulitan, akan tetapi banyak pula siswa mengalami kesulitan, sehingga menimbulkan masalah bagi perkembangan pribadinya.
Menghadapi masalah itu, ada kecendrungan tidak semua siswa mampu memecahkannya sendiri. Seseorang mungkin tidak mengetahui cara yang baik untuk memecahkan masalah sendiri. Ia tidak tahu apa sebenarnya masalah yang dihadapi. Ada pula seseorang yang tampak seolah tidak mempunyai masalah, padahal masalah yang dihadapinya cukup berat.
Atas kenyataan itu, semestinya sekolah harus berperan turut membantu memecahkan masalah yang dihadapi siswa. Seperti diketahui, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sekurang-kurangnya memiliki 3 fungsi utama. Pertama fungsi pengajaran, yakni membantu siswa dalam memperoleh kecakapan bidang pengetahuan dan keterampilan. Kedua, fungsi administrasi, dan ketiga fungsi pelayanan siswa, yaitu memberikan bantuan khusus kepada siswa untuk memperoleh pemahaman diri, pengarahan diri dan integrasi sosial yang lebih baik, sehingga dapat menyesuaikan diri baik dengan dirinya maupun dengan lingkungannya.
Setiap fungsi pendidikan itu, pada dasarnya bertanggung jawab terhadap proses pendidikan pada umumnya. Termasuk seorang guru yang berdiri di depan kelas, bertanggung jawab pula atau melekat padanya fungsi administratif dan fungsi pelayanan siswa. Hanya memang dalam pendidikan, pada dasarnya sulit memisahkan secara tegas fungsi yang satu dengan fungsi yang lainnya, meskipun pada setiap fungsi tersebut mempunyai penanggung jawab masing-masing. Dalam hal ini, guru atau pembimbing dapat membawa setiap siswa kearah perkembangan individu seoptimal mungkin dalam hubungannya dengan kehidupan sosial serta tanggung jawab moral. Salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh guru dalam melaksanakan tugas dan peranannya ialah kegiatan evaluasi. Dilihat dari jenisnya evaluasi ada empat, yaitu sumatif, formatif, penempatan, dan diagnostik.
1. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.

2. Prognosis
Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus – kasus yang dihadapi.
3. Tes diagnostik
Pada konteks ini, penulis akan mencoba menyoroti tes diagnostik kesulitan belajar yang kurang sekali diperhatikan sekolah. Lewat tes itu akan dapat diketahui letak kelemahan seorang siswa. Jika kelemahan sudah ditemukan, maka guru atau pembimbing sebaiknya mengetahui hal-hal apa saja yang harus dilakukan guna menolong siswa tersebut.
Tes dignostik kesulitan belajar sendiri dilakukan melalui pengujian dan studi bersama terhadap gejala dan fakta tentang sesuatu hal, untuk menemukan karakteristik atau kesalahn-kesalahan yang esensial. Tes dignostik kesulitan belajar juga tidak hanya menyangkut soal aspek belajar dalam arti sempit yakni masalah penguasaan materi pelajaran semata, melainkan melibatkan seluruh aspek pribadi yang menyangkut perilaku siswa.
Tujuan tes diagnostik untuk menemukan sumber kesulitan belajar dan merumuskan rencana tindakan remidial. Dengan demikian tes diagnostik sangat penting dalam rangka membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar dan dapat diatasi dengan segera apabila guru atau pembinbing peka terhadap siswa tersebut. Guru atau pembimbing harus mau meluangkan waktu guna memerhatikan keadaan siswa bila timbul gejala-gejala kesulitan belajar.
Agar memudahkan pelaksanaan tes diagnostik, maka guru perlu mengumpulkan data tentang anak secara lengkap, sehingga penanganan kasus akan menjadi lebih mudah dan terarah.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang dilaksanakannya ujian akhir nasional (UAN) dengan standar nilai 4,01, boleh jadi bagi sebagian siswa sangat berat. Pihak sekolah dalam menghadapi
Salah satu antisipasinya pihak sekolah atau guru, harus memberi perhatian khusus terhadap perbedaan kemampuan individual siswa tersebut. Perhatian yang dimaksud yakni dengan menyelenggarakan tes diagnostik. Jika tes itu dilaksanakan dengan efektif dan efesien, penulis yakin permasalah perbedaan kemampan siswa akan terselesaikan dengan baik
1. Bimbingan Belajar
Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1. Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :
1. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
3. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa.
5. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
2. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu senggang.
3. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.
4. Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu :
• Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas;
• Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
• Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu apabila:
1. Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
2. Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
3. Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
4. Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
5. Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
6. Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
7. Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya
Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana mekanisme penanganan siswa bermasalah, silahkan klik tautan di bawah ini. Materi disajikan dalam bentuk tayangan slide
d. Model Pembelajaran
Di bawah ini akan diuraikan secara singkat dari masing-masing model pembelajaran

1. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) atau biasa disingkat CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar.
Dengan mengutip pemikiran Zahorik, E. Mulyasa (2003) mengemukakan lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, yaitu :
1. Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik
2. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari umum ke khusus)
3. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara: (a) menyusun konsep sementara; (b) melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain; dan (c) merevisi dan mengembangkan konsep.
4. Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekan secara langsung apa-apa yang dipelajari.
5. Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari.
2. Bermain Peran (Role Playing)
Bermain peran merupakan salah satu model pembelajaran yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia (interpersonal relationship), terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi, kemampuan kerjasama, komunikatif, dan menginterprestasikan suatu kejadian Melalui bermain peran, peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antarmanusia dengan cara memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi parasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan berbagai strategi pemecahan masalah.
Dengan mengutip dari Shaftel dan Shaftel, (E. Mulyasa, 2003) mengemukakan tahapan pembelajaran bermain peran meliputi : (1) menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik; (2) memilih peran; (3) menyusun tahap-tahap peran; (4) menyiapkan pengamat; (5) menyiapkan pengamat; (6) tahap pemeranan; (7) diskusi dan evaluasi tahap diskusi dan evaluasi tahap I ; (8) pemeranan ulang; dan (9) diskusi dan evaluasi tahap II; dan (10) membagi pengalaman dan pengambilan keputusan.
3. Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning)
Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning) merupakan model pembelajaran dengan melibatkan peserta didik secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Dengan meminjam pemikiran Knowles, (E.Mulyasa,2003) menyebutkan indikator pembelajaran partsipatif, yaitu : (1) adanya keterlibatan emosional dan mental peserta didik; (2) adanya kesediaan peserta didik untuk memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan; (3) dalam kegiatan belajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
Pengembangan pembelajaran partisipatif dilakukan dengan prosedur berikut:
1. Menciptakan suasana yang mendorong peserta didik siap belajar.
2. Membantu peserta didik menyusun kelompok, agar siap belajar dan membelajarkan
3. Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan belajarnya.
4. Membantu peserta didik menyusun tujuan belajar.
5. Membantu peserta didik merancang pola-pola pengalaman belajar.
6. Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
7. Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil belajar.
4. Belajar Tuntas (Mastery Learning)
Belajar tuntas berasumsi bahwa di dalam kondisi yang tepat semua peserta didik mampu belajar dengan baik, dan memperoleh hasil yang maksimal terhadap seluruh materi yang dipelajari. Agar semua peserta didik memperoleh hasil belajar secara maksimal, pembelajaran harus dilaksanakan dengan sistematis. Kesistematisan akan tercermin dari strategi pembelajaran yang dilaksanakan, terutama dalam mengorganisir tujuan dan bahan belajar, melaksanakan evaluasi dan memberikan bimbingan terhadap peserta didik yang gagal mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan pembelajaran harus diorganisir secara spesifik untuk memudahkan pengecekan hasil belajar, bahan perlu dijabarkan menjadi satuan-satuan belajar tertentu,dan penguasaan bahan yang lengkap untuk semua tujuan setiap satuan belajar dituntut dari para peserta didik sebelum proses belajar melangkah pada tahap berikutnya. Evaluasi yang dilaksanakan setelah para peserta didik menyelesaikan suatu kegiatan belajar tertentu merupakan dasar untuk memperoleh balikan (feedback). Tujuan utama evaluasi adalah memperoleh informasi tentang pencapaian tujuan dan penguasaan bahan oleh peserta didik. Hasil evaluasi digunakan untuk menentukan dimana dan dalam hal apa para peserta didik perlu memperoleh bimbingan dalam mencapai tujuan, sehinga seluruh peserta didik dapat mencapai tujuan ,dan menguasai bahan belajar secara maksimal (belajar tuntas).
Strategi belajar tuntas dapat dibedakan dari pengajaran non belajar tuntas dalam hal berikut : (1) pelaksanaan tes secara teratur untuk memperoleh balikan terhadap bahan yang diajarkan sebagai alat untuk mendiagnosa kemajuan (diagnostic progress test); (2) peserta didik baru dapat melangkah pada pelajaran berikutnya setelah ia benar-benar menguasai bahan pelajaran sebelumnya sesuai dengan patokan yang ditentukan; dan (3) pelayanan bimbingan dan konseling terhadap peserta didik yang gagal mencapai taraf penguasaan penuh, melalui pengajaran remedial (pengajaran korektif).
Strategi belajar tuntas dikembangkan oleh Bloom, meliputi tiga bagian, yaitu: (1) mengidentifikasi pra-kondisi; (2) mengembangkan prosedur operasional dan hasil belajar; dan (3c) implementasi dalam pembelajaran klasikal dengan memberikan “bumbu” untuk menyesuaikan dengan kemampuan individual, yang meliputi : (1) corrective technique yaitu semacam pengajaran remedial, yang dilakukan memberikan pengajaran terhadap tujuan yang gagal dicapai peserta didik, dengan prosedur dan metode yang berbeda dari sebelumnya; dan (2) memberikan tambahan waktu kepada peserta didik yang membutuhkan (sebelum menguasai bahan secara tuntas).
Di samping implementasi dalam pembelajaran secara klasikal, belajar tuntas banyak diimplementasikan dalam pembelajaran individual. Sistem belajar tuntas mencapai hasil yang optimal ketika ditunjang oleh sejumlah media, baik hardware maupun software, termasuk penggunaan komputer (internet) untuk mengefektifkan proses belajar.
5. Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction)
Modul adalah suatu proses pembelajaran mengenai suatu satuan bahasan tertentu yang disusun secara sistematis, operasional dan terarah untuk digunakan oleh peserta didik, disertai dengan pedoman penggunaannya untuk para guru. Pembelajaran dengan sistem modul memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Setiap modul harus memberikan informasi dan petunjuk pelaksanaan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan oleh peserta didik, bagaimana melakukan, dan sumber belajar apa yang harus digunakan.
2. Modul meripakan pembelajaran individual, sehingga mengupayakan untuk melibatkan sebanyak mungkin karakteristik peserta didik. Dalam setiap modul harus : (1) memungkinkan peserta didik mengalami kemajuan belajar sesuai dengan kemampuannya; (2) memungkinkan peserta didik mengukur kemajuan belajar yang telah diperoleh; dan (3) memfokuskan peserta didik pada tujuan pembelajaran yang spesifik dan dapat diukur.
3. Pengalaman belajar dalam modul disediakan untuk membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran seefektif dan seefisien mungkin, serta memungkinkan peserta didik untuk melakukan pembelajaran secara aktif, tidak sekedar membaca dan mendengar tapi lebih dari itu, modul memberikan kesempatan untuk bermain peran (role playing), simulasi dan berdiskusi.
4. Materi pembelajaran disajikan secara logis dan sistematis, sehingga peserta didik dapat menngetahui kapan dia memulai dan mengakhiri suatu modul, serta tidak menimbulkan pertanyaaan mengenai apa yang harus dilakukan atau dipelajari.
5. Setiap modul memiliki mekanisme untuk mengukur pencapaian tujuan belajar peserta didik, terutama untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik dalam mencapai ketuntasan belajar.
Pada umumnya pembelajaran dengan sistem modul akan melibatkan beberapa komponen, diantaranya : (1) lembar kegiatan peserta didik; (2) lembar kerja; (3) kunci lembar kerja; (4) lembar soal; (5) lembar jawaban dan (6) kunci jawaban.
Komponen-komponen tersebut dikemas dalam format modul, sebagai berikut :
1. Pendahuluan; yang berisi deskripsi umum, seperti materi yang disajikan, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan dicapai setelah belajar, termasuk kemampuan awal yang harus dimiliki untuk mempelajari modul tersebut.
2. Tujuan Pembelajaran; berisi tujuan pembelajaran khusus yang harus dicapai peserta didik, setelah mempelajari modul. Dalam bagian ini dimuat pula tujuan terminal dan tujuan akhir, serta kondisi untuk mencapai tujuan.
3. Tes Awal; yang digunakan untuk menetapkan posisi peserta didik dan mengetahui kemampuan awalnya, untuk menentukan darimana ia harus memulai belajar, dan apakah perlu untuk mempelajari atau tidak modul tersebut.
4. Pengalaman Belajar; yang berisi rincian materi untuk setiap tujuan pembelajaran khusus, diikuti dengan penilaian formatif sebagai balikan bagi peserta didik tentang tujuan belajar yang dicapainya.
5. Sumber Belajar; berisi tentang sumber-sumber belajar yang dapat ditelusuri dan digunakan oleh peserta didik.
6. Tes Akhir; instrumen yang digunakan dalam tes akhir sama dengan yang digunakan pada tes awal, hanya lebih difokuskan pada tujuan terminal setiap modul
Tugas utama guru dalam pembelajaran sistem modul adalah mengorganisasikan dan mengatur proses belajar, antara lain : (1) menyiapkan situasi pembelajaran yang kondusif; (2) membantu peserta didik yang mengalami kesulitan dalam memahami isi modul atau pelaksanaan tugas; (3) melaksanakan penelitian terhadap setiap peserta didik.
6. Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Joyce (Gulo, 2005) mengemukakan kondisi- kondisi umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1) aspek sosial di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi; (2) berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan (3) penggunaan fakta sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis,
Proses inkuiri dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Merumuskan masalah; kemampuan yang dituntut adalah : (a) kesadaran terhadap masalah; (b) melihat pentingnya masalah dan (c) merumuskan masalah.
2. Mengembangkan hipotesis; kemampuan yang dituntut dalam mengembangkan hipotesis ini adalah : (a) menguji dan menggolongkan data yang dapat diperoleh; (b) melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis; dan merumuskan
3. Menguji jawaban tentatif; kemampuan yang dituntut adalah : (a) merakit peristiwa, terdiri dari : mengidentifikasi peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi data; (b) menyusun data, terdiri dari : mentranslasikan data, menginterpretasikan data dan mengkasifikasikan data.; (c) analisis data, terdiri dari : melihat hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan trend, sekuensi, dan keteraturan.
4. Menarik kesimpulan; kemampuan yang dituntut adalah: (a) mencari pola dan makna hubungan; dan (b) merumuskan kesimpulan
5. Menerapkan kesimpulan dan generalisasi
Guru dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai konselor,
DLL.
DAFTAR PUSTAKA
§  Dimyati dan Mudjiono. (2006). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud berkerjasama dengan Rineka
§  http://nic.unud.ac.id
§  http://konselingindonesia.
§  Siregar, Eveline dan Nara, Hartini. (2007). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar