TUGAS KELOMPOK
CARA MENGATASI MASALAH BELAJAR
BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
SRI
SULASTRI , M.Pd
QURRATU
A’YUN
AULIA NUR WIDYA
R2L
Program Studi Pendidikan
Bahasa Inggris
Universitas Indraprasta
PGRI, Jakarta 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Tugas utama seorang guru adalah membelajarkan siswa.
Belajar berarti bila bahwa guru bertindak mengajar, maka diharapkan siswa
berajar atau belajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah ditemukan
hal-hal berikut. Guru telah mengajar dengan baik. Ada siswa yang giat. Ada
siswa yang pura-pura belajar. Ada siswa yang belajar setengah hati. Bahkan ada
pula siswa yang tidak belajar. Guru bingung menghadapi keadaan siswa. Guru
tersebut berkonsultasi dengan guru konselor sekolah. Kedua petugas pendidik
tersebut menemukan adanya masalah-masalah yang dialami siswa. Ada masalah yang
dapat diselesaikan oleh konselor sekolah. Adapula yang dkonsultasikan dengan
ahli psikologi. Guru menyadari bahwa dalam tugas pembelajaran ternyata masalah-masalah
belajar dialami siswa. Bahkan guru harus memahami bahawa kondisi lingkungan
siswa juga dapat menjadi sumber timbulnya masalah-masalah belajar.
Guru professional berusaha mendorong siswa agar
belajar secara berhasil. Ia menemukan bahwa ada bermacam hal yang menyebabkan
siswa belajar.ada siswa yang tidak belajar karena dimarahi oleh orang tua. Ada
siswa yang enggan belajar karena pindah tempat tinggal. Ada siswa yang sukar
memusatkan perhatian waktu guru mengajarkan topic tertentu. Ada pula siswa yang
giat belajar karena bercita-cita menjadi seorang ahli. Bermacam-macam keadaan
siswa tersebut menggambarkan bahwa pengetahuan tentang masalah-masalah belajar
merupakan hal yang sangat penting bagi guru atau calon guru.
Dalam
makalah ini kami membahas mengenai kondisi belajar dan masalah-masalah belajar,serta cara
mengatasi masalah belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Kondisi Belajar
Gagne
membagi kondisi belajar atas dua, yaitu:
1.
Kondisi internal (internal condition) adalah kemampuan yang telah ada pada diri
individu sebelum ia mempelajari sesuatu yang baru yang dihasilkan oleh
seperangkat proses transformasi (ingat information processing theory Gagne).
2.
Kondisi Eksternal (eksternal condition) adalah situasi perangsang di luar diri
si belajar. Kondisi belajar yang diperlukan untuk belajar berbeda-beda untuk
setiap kasus. Begitu pula dengan jenis kemampuan belajar yang berbeda akan
membutuhkan kemampuan belajar sebelumnya yang berbeda dan kondisi eksternal
yang berbeda pula.
B. Masalah-masalah Belajar Internal dan Eksternal
Secara umum kondisi belajar internal dan eksternal
akan mempengaruhi belajar. Kondisi itu antara lain, pertama, lingkungan fisik.
Lingkungan fisik yang ada dalam proses dan di sekitar proses pembelajaran memberi
pengaruh bagi proses belajar. Kedua, suasana emosional siswa. Suasana emosional
siswa akan memberi pengaruh dalam proses pembelajaran siswa. Hal ini bisa
dicermati ketika kondisi emosional siswa sedang labil maka proses belajarpun
akan mengalami gangguan. Ketiga, lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang
berada di sekitar siswa juga turut mempengaruhi bagaiman seorang siswa belajar.
Masalah-masalah internal yang dialami siswa yang
berpengaruh pada proses belajar terurai sebagai berikut:
1. Sikap terhadap Belajar
Sikap merupakan kemampuan memberikan
penilaian tentang sesuatu, yang membawa diri sesuai dengan penilaian. Adanya
penilaian terhadap sesuatu mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak,
atau mengabaikan. Akibat penerimaan, penolakan, atau pengabaian dapat
berpengaruh pada perkembangan kepribadian. Oleh karena itu, ada baiknya siswa
mempertimbangkan masak-masak akibat sikap belajar.
2. Motivasi Belajar
Motivasi belajar merupakan kekuatan
mental yang mendorong terjadinya proses belajar. Motivasi belajar sangat
berpengaruh pada aktifitas belajar, bila motivasi tersebut melemah mutu hasil
belajar akan menjadi rendah. Motivasi belajar perlu diperkuat secara terus
menerus supaya kuat, untuk mengoptimalkan perlu didukung pula suasana
belajar yang menyenangkan.
3. Konsentrasi Belajar
Konsentrasi belajar merupakan
kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran. Disini diperlukan peran guru
dalam menerapkan strategi-strategi belajar mengajar dan memperhitungkan waktu
belajar serta selingan istirahat. Maka perhatian dan prestasi belajar dapat
ditingkatkan.
4. Mengolah Bahan Belajar
Mengolah bahan belajar merupakan
kemampuan siswa untuk menerima isi dan cara pemerolehan ajaran sehingga menjadi
bermakna bagi siswa. kemampuan siswa mengolah bahan belajar akan menjadi baik
jika siswa berpeluang aktif dalam belajar. Disisi guru, pada tempatnya
menggunakan proses, inkuiri, ataupun laboratori.
5. Menyimpan Perolehan Belajar
Menyimpan perolehan hasil belajar
merupakan kemampuan menyimpan isi pesan dan perolehan pesan.kemampuan menyimpan
pesan ini ada yang pendek dan ada yang lama, atau bahkan seumur hidup, proses
ini merupakan saat memperkuat hasil belajar. Pebelajar menggunakan berbagai
teknik belajar agar tersimpan dalam ingatan, penghayatan dan keterampilan
jangka panjang. Sikap, konsentrasi, dan pengolahan bahan belajar sangat
mempengaruhi pada fase ini. Ada gangguan pada salah satu fase ini baik
sendiri-sendiri maupun gabungan akan menghasilkan hasil belajar yang kurang baik.
6. Menggali Hasil Belajar yang tersimpan
Menggali hasil belajar merupakan
proses mengaktifkan pesan yang telah diterima. Penggalian hasil belajar yang
tersimpan ada hubungannya dengan baik atau buruknya penerimaan, pengolahan, dan
penyimpanan pesan. Siswa akan mengalami gangguan dalam menggali pesan dan kesan
lama. jika tidak memperhatikan pada saat penerimaan, maka akan berpengaruh
tidak baik pada proses penyimpanan dan akan sulit pada proses pengolahan.
7. Kemampuan Berprestasi atau Unjuk Hasil Kerja
Kemampuan Berprestasi atau Unjuk
Hasil Kerja merupakan suatu puncak proses belajar. Pada tahap ini siswa
membuktikan kemampuanya dalam proses-proses penerimaan, pengaktifan,
pra-pengolahan, penyimpanan, serta pemanggilan untuk pembangkitan pesan dan
pengalaman. Bila proses-proses tersebut tidak baik, maka siswa dapat
berprestasi kurang atau juga dapat gagal berprestasi jadi perlu upaya dalam
mengoptimalkan proses-proses tersebut yang sudah dijelaskan diatas.
8. Rasa Percaya diri Siswa
Rasa percaya diri muncul dari
keinginan mewujudkan diri bertindak dan berhasil. Pengakuan umum dari
keberhasilan dapat membuat rasa percaya diri semakin kuat. Hal yang sebaliknya
dapat terjadi bila kegagalan yang berulang sering dialami dapat mengakibatkan
rasa tidak percaya diri. Pada tempatnya guru mendorong keberanian terus
menerus, memberikan bermacam-macam penguat, dan memberikan pengakuan dan
kepercayaan bila siswa telah berhasil, disamping itu diperlukan sikap positif
dan usaha keras pada siswa.
9. Intelegensi dan Keberhasilan Belajar
Menurut Wechler (Monk & Knoer,
Siti Rahayu Haditiono) Intelegensi merupakan suatu kecakapan global atau
rangkuman kecakapan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara baik, dan
bergaul dengan lingkungan secara efisien. Yang menjadi masalah adalah siswa
yang memiliki intelegensi dibawah normal. Ini akan mempengaruhi perolehan hasil
belajar. Oleh karena itu pada tempatnya mereka didorong untuk belajar di
bidang-bidang keterampilan sebagai antisipasinya. Penyediaan kesempatan belajar
diluar sekolah, merupakan langkah bijak untuk mempertinggi taraf kehidupan
warga Indonesia.
10. Kebiasaan Belajar
Ke-tidak mengertian siswa pada arti dan
pentingnya belajar bagi diri sendiri memunculkan kebiasaan-kebiasaan buruk seperti
belajar tidak teratur, menyianyiakan kesempatan belajar dll. Hal ini dapat
diperbaiki dengan pembinaan disiplin pembinaan diri. Suatu pepatah dan berbagai
petunjuk tokoh teladan misalnya, dapat menyadarkan siswa tentang pentingnya
belajar. Pemberian penguat dalam keberhasilan belajar dapat mengurangi
kebiasaan kurang baik dan membangkitkan harga diri siswa.
11. Cita-Cita Siswa
Cita-cita merupakan motivasi
intrinsik, dan perlu didikan. Didikan cita-cita harus dimulai sejak sekolah
dasar. Disekolah menengah didikan mengenai cita-cita sudah semakin terarah
karena akan sangat bedampak buruk bila pencapaian cita-cita tidak benar.
Didikan pemilikan dan pencapaian cita-cita sebaiknya berpangkal dari kemampuan
berprestasi, dimulai dari hal yang sederhana ke hal yang semakin sulit. Dengan
mengaitkan pemilikan cita-cita dengan kemampuan berprestasi, maka diharapkan
siswa berani bereksplorasi sesuai dengan kemampuan dirinya sendiri.
Contoh
dari masalah belajar internal dapat dilihat dari kasus berikut:
Ita gadis cilik berusia 9 tahun. Akhir-akhir ini
prestasinya sangat menurun. Hasil ulangannya selalu buruk kalau soal-soal
ulangan ditulis di papan tulis. Namun ketika ujian sumatif, hasil ulangan Ita
tidak begitu buruk. Soal-soal ulangan dicetak dan dibagikan kepada setiap
murid. Namun demikian, peringkat Ita di kelas turun drastis, dari peringkat 5
menjadi peringkat 20. Dari kasus di atas dapat dilihat, masalah yang ditekankan
adalah kemampuan indera untuk menangkap rangsangan. Ita tampaknya mempunyai kesulitan
dalam penglihatan. Ini terbukti dari berbedanya hasil yang dicapai antara
ulangan harian yang soalnya ditulis di papan tulis dengan ulangan sumatif yang
soalnya dicetak dan dibagikan kepada setiap murid.
Masalah-masalah eksternal yang dialami siswa yang
berpengaruh pada proses belajar terurai sebagai berikut:
1. Guru Sebagai Pembina Siswa Belajar
Guru adalah pengajar yang mendidik. Ia tidak hanya
mengajar bidang studi yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi
pendidik generasi muda bangsanya. Guru juga menumbuhkan diri secara
professional. Ia bekerja dan bertugas mempelajari profesi guru sepanjang hayat.
2. Prasarana Dan Sarana Pelajaran
Prasarana meliputi gedung sekolah, ruang belajar,
lapangan olahraga, ruang Ibadah dan ruang kesenian. Sedangkan sarana
pembelajaran meliputi buku pelajaran, fasilitas laboratorium dan berbagai media
pembelajaran.
3. Kebijakan Penilaian
Hasil belajar merupakan hasil proses belajar, pelaku
aktif dalam belajar adalah siswa. Hasil belajar juga merupakan hasil proses
pembelajaran, pelaku aktif dalam pembelajaran adalah guru.
4. Lingkungan Sosial Siswa Di Sekolah.
Tiap siswa berada di dalam lingkungan social siswa di
sekolah, ia memiliki kedudukan dan peranan yang diakui oleh sesame. Jika
seorang siswa, diterima, maka ia dengan mudah menyesuaikan diri dan segera
dapat belajar. Sebaliknya jika ia ditolak, maka ia akan merasa tertekan.
5. Kurikulum Sekolah
Program pembelajaran disekolah, berdasarkan dari suatu
kurikulum, kurikulum yang diberlakukan di sekolah adalah kurikulum nasional
yang didasarkan pemerintah atau suatu kurikulum yang disahkan oleh suatu
yayasan pendidikan.
D.
Cara Mendiagnosa Masalah Belajar dan Mengatasinya
Yang
dimaksud dengan proses mendiagnosis adalah proses pemeriksaan terhadap suatu
gejala yang tidak beres. Diagnosis masalah belajar dilakukan jika guru menandai
atau mengidentifikasi adanya kesulitan belajar pada muridnya.
Diagnosis
masalah belajar dilakukan secara sistematis dan terarah dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1.
Mengidentifikasi adanya masalah belajar
Untuk
mengidentifikasi masalah belajar diperlukan seperangkat keterampilan khusus,
sebab kemampuan mengidentifikasi yang berdasarkan naluri belakang kurang
efektif. Gejala-gejala munculnya masalah belajar dapat diamati dalam berbagai
bentuk, biasanya muncul dalam bentuk perubahan perilaku yang menyimpang atau
dalam menurunnya hasil belajar. Perilaku yang menyimpang juga muncul dalam
berbagi bentuk seperti: suka mengganggu teman, merusak alat-alat pembelajaran
dan lain sebagainya.
2.
Menelaah atau menetapkan status siswa
Penelaahan
dan penetapan status murid dilakukan dengan cara:
1)
Menetapkan tujuan khusus yang diharapkan dari murid
2)
Menetapkan tingkat ketercapaian tujuan khusus oleh murid dengan menggunakan
teknik dan alat yang tepat.
3)
Menetapkan pola pencapaian murid, yaitu seberapa jauh ia berbeda dari tujuan
yang ditetapkan itu.
3.
Memperkirakan sebab terjadinya masalah belajar
Membuat
perkiraan yang tepat adalah suatu perbuatan yang kompleks yang keberhasilannya
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Beberapa prinsip yang harus diingat
dalam memperkirakan sebab terjadinya masalah belajar:
1)
Gejala yang sama dapat ditimbulkan oleh sebab yang berbeda
2)
Sebab yang sama dapat menimbulkan gejala yang berbeda
3)
Berbagai penyebab dapat berinteraksi yang dapat menimbulkan gejala masalah yang
makin kompleks.
Analisis
kasus
Seorang
ibu datang kepada seorang psikolog untuk berkonsultasi tentang apa yang dialami
oleh anaknya. Anak ibu tersebut yang berumur delapan tahun dan masih di kelas 1
SD karena tahun kemarin tidak naik kelas. Tahun ini, si ibu merasa kuatir
anaknya tidak naik kelas lagi karena nilainya pas-pasan. Padahal, standar nilai
sekarang kan tinggi. Pernah si ibu mendaftarkan anaknya untuk mengikuti tes
intelejensi dan hasil IQ-nya 85.
Ayahnya
sangat keras dan mengancam tidak akan menyekolahkan anaknya kalau sampai tidak
naik kelas lagi. Sepintas, si anak bisa komunikasi dengan baik dan tidak
terlihat bodoh. Namun, kalau materi terlalu banyak tidak bisa mengikuti. Si ibu
merasa kebingungan. Dan bertanya kepada psikolog : Apa yang harus ibu lakukan ?
Apa anak saya mengalami kelainan? Bagaimana solusi terbaik?
dari
hasil IQ, putra ibu memang termasuk di bawah rata-rata. Kemungkinannya, anak
mengalami kelambatan belajar. Namun, bukan karena dia tidak mau tetapi terbatas
pada kemampuannya. Misalnya ibu sudah menyuruhnya belajar dan anak sudah
melakukannya dengan waktu cukup lama dan berusaha maksimal.
Tetapi,
sesampai di sekolah anak lupa atau tidak bisa mengerjakan dengan baik. Salah
satu sebabnya karena kemampuan mengingat materi pelajaran dan kapasitas
kemampuan anak tidak berimbang. Kalau memang si kecil dirasa kesulitan
mengikuti pelajaran di sekolah umum, dan tahun ini anak tidak naik kelas, ibu
sepertinya harus mulai mencari sekolah alternatif.
Seperti
memilih sekolah umum yang berkelas kecil, sekolah khusus anak slow leaner, atau
home schooling. Sebelum memutuskan mana yang dipilih sebaiknya ibu mencari
informasi mengenai dua lembaga tersebut. Dengan demikian, ibu lebih paham dan
bisa memilih sekolah yang sesuai dengan keadaan keuangan, kondisi anak, dan
situasi yang memungkinkan.
Lebih
baik, si ibu pikirkan bersama suami agar keputusan yang diambil bisa jadi
motivasi ibu dan bapak dalam memaksimalkan potensi si kecil. Dan, tidak lagi
menyudutkan anak dengan segala keterbatasan yang dia miliki. Atau, menyalahkan
ibu yang dianggap kurang bisa mendidik dengan baik.
Apapun
yang terjadi, ibu dan bapak patut bersyukur, meskipun keadaan si kecil seperti
saat ini namun secara fisik dia sehat dan bisa berkomunikasi dengan baik.
Anak-anak dengan kelambatan belajar butuh ketekunan, kesabaran, dan keuletan
dalam memberikan materi pelajaran. Karena, penalaran anak kurang berkembang
tetapi dengan latihan terus-menerus, anak bisa mengejar ketertinggalannya.
Tumbuhkan
terus motivasinya dan jangan pernah memberikan sansi fisik, hal tersebut hanya
membuatnya frustasi.Ibu bisa mencari bakat dan minat anak yang mungkin menurut
kita kurang berguna, tapi anak suka dan bisa melakukannya dengan enjoy.
C. Prosedur dan Langkah-Langkah Penanggulangan
Masalah Belajar
Belajar
pada dasarnya merupakan proses usaha aktif seseorang untuk memperoleh sesuatu,
sehingga terbentuk perilaku baru menuju arah yang lebih baik. Kenyataannya,
para pelajar seringkali tidak mampu mencapai tujuan belajarnya atau tidak
memperoleh perubahan tingkah laku sebagai mana yang diharapkan. Hal itu
menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan belajar yang merupakan hambatan
dalam mencapai hasil belajar.
Sementara
itu, setiap siswa dalam mencapai sukses belajar, mempunyai kemampuan yang
berbeda-beda. Ada siswa yang dapat mencapainya tanpa kesulitan, akan tetapi
banyak pula siswa mengalami kesulitan, sehingga menimbulkan masalah bagi perkembangan
pribadinya.
Menghadapi
masalah itu, ada kecendrungan tidak semua siswa mampu memecahkannya sendiri.
Seseorang mungkin tidak mengetahui cara yang baik untuk memecahkan masalah
sendiri. Ia tidak tahu apa sebenarnya masalah yang dihadapi. Ada pula seseorang
yang tampak seolah tidak mempunyai masalah, padahal masalah yang dihadapinya
cukup berat.
Atas
kenyataan itu, semestinya sekolah harus berperan turut membantu memecahkan
masalah yang dihadapi siswa. Seperti diketahui, sekolah sebagai lembaga pendidikan
formal sekurang-kurangnya memiliki 3 fungsi utama. Pertama fungsi pengajaran,
yakni membantu siswa dalam memperoleh kecakapan bidang pengetahuan dan
keterampilan. Kedua, fungsi administrasi, dan ketiga fungsi pelayanan siswa,
yaitu memberikan bantuan khusus kepada siswa untuk memperoleh pemahaman diri,
pengarahan diri dan integrasi sosial yang lebih baik, sehingga dapat
menyesuaikan diri baik dengan dirinya maupun dengan lingkungannya.
Setiap
fungsi pendidikan itu, pada dasarnya bertanggung jawab terhadap proses
pendidikan pada umumnya. Termasuk seorang guru yang berdiri di depan kelas,
bertanggung jawab pula atau melekat padanya fungsi administratif dan fungsi
pelayanan siswa. Hanya memang dalam pendidikan, pada dasarnya sulit memisahkan
secara tegas fungsi yang satu dengan fungsi yang lainnya, meskipun pada setiap
fungsi tersebut mempunyai penanggung jawab masing-masing. Dalam hal ini, guru
atau pembimbing dapat membawa setiap siswa kearah perkembangan individu
seoptimal mungkin dalam hubungannya dengan kehidupan sosial serta tanggung
jawab moral. Salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh guru dalam
melaksanakan tugas dan peranannya ialah kegiatan evaluasi. Dilihat dari
jenisnya evaluasi ada empat, yaitu sumatif, formatif, penempatan, dan
diagnostik.
1.
Diagnosis
Diagnosis
merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang
melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar
faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi
input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua
bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan
belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam
diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan,
bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b)
faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk
didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
2.
Prognosis
Langkah
ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk
diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan
dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua
dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih
dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang
kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus – kasus yang dihadapi.
3. Tes
diagnostik
Pada
konteks ini, penulis akan mencoba menyoroti tes diagnostik kesulitan belajar
yang kurang sekali diperhatikan sekolah. Lewat tes itu akan dapat diketahui
letak kelemahan seorang siswa. Jika kelemahan sudah ditemukan, maka guru atau
pembimbing sebaiknya mengetahui hal-hal apa saja yang harus dilakukan guna
menolong siswa tersebut.
Tes dignostik kesulitan belajar sendiri dilakukan melalui pengujian dan studi bersama terhadap gejala dan fakta tentang sesuatu hal, untuk menemukan karakteristik atau kesalahn-kesalahan yang esensial. Tes dignostik kesulitan belajar juga tidak hanya menyangkut soal aspek belajar dalam arti sempit yakni masalah penguasaan materi pelajaran semata, melainkan melibatkan seluruh aspek pribadi yang menyangkut perilaku siswa.
Tes dignostik kesulitan belajar sendiri dilakukan melalui pengujian dan studi bersama terhadap gejala dan fakta tentang sesuatu hal, untuk menemukan karakteristik atau kesalahn-kesalahan yang esensial. Tes dignostik kesulitan belajar juga tidak hanya menyangkut soal aspek belajar dalam arti sempit yakni masalah penguasaan materi pelajaran semata, melainkan melibatkan seluruh aspek pribadi yang menyangkut perilaku siswa.
Tujuan
tes diagnostik untuk menemukan sumber kesulitan belajar dan merumuskan rencana
tindakan remidial. Dengan demikian tes diagnostik sangat penting dalam rangka
membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar dan dapat diatasi dengan segera
apabila guru atau pembinbing peka terhadap siswa tersebut. Guru atau pembimbing
harus mau meluangkan waktu guna memerhatikan keadaan siswa bila timbul
gejala-gejala kesulitan belajar.
Agar
memudahkan pelaksanaan tes diagnostik, maka guru perlu mengumpulkan data
tentang anak secara lengkap, sehingga penanganan kasus akan menjadi lebih mudah
dan terarah.
Sejalan
dengan kebijakan pemerintah tentang dilaksanakannya ujian akhir nasional (UAN)
dengan standar nilai 4,01, boleh jadi bagi sebagian siswa sangat berat. Pihak
sekolah dalam menghadapi
Salah
satu antisipasinya pihak sekolah atau guru, harus memberi perhatian khusus
terhadap perbedaan kemampuan individual siswa tersebut. Perhatian yang dimaksud
yakni dengan menyelenggarakan tes diagnostik. Jika tes itu dilaksanakan dengan
efektif dan efesien, penulis yakin permasalah perbedaan kemampan siswa akan
terselesaikan dengan baik
1.
Bimbingan Belajar
Bimbingan
belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan
dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh
melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :
Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :
1. Call
them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara
bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar
membutuhkan layanan bimbingan.
2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
3. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa.
5. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
3. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa.
5. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
2.
Identifikasi Masalah
Langkah
ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah
yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa
dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural –
fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi
masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak
masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini
sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar
aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d)
ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran;
(g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan
keluarga; dan (j) waktu senggang.
3.
Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika
jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem
pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau
guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau
guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek
kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau
guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih
kompeten.
4.
Evaluasi dan Follow Up
Cara
manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya
dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan
bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang
dihadapi siswa.
Berkenaan
dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria
keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu :
• Berkembangnya
pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas;
• Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
• Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
• Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
• Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara
itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa
kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu
apabila:
1. Siswa
telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
2. Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
3. Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
4. Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
5. Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
6. Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
7. Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya
2. Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
3. Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
4. Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
5. Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
6. Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
7. Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya
Jika
Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana mekanisme penanganan siswa
bermasalah, silahkan klik tautan di bawah ini. Materi disajikan dalam bentuk
tayangan slide
d. Model
Pembelajaran
Di bawah
ini akan diuraikan secara singkat dari masing-masing model pembelajaran
1.
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching Learning) atau biasa disingkat CTL merupakan
konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran
dengan dunia kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan
menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada
peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang
memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan,
tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta
didik belajar.
Dengan
mengutip pemikiran Zahorik, E. Mulyasa (2003) mengemukakan lima elemen yang
harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, yaitu :
1. Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik
2. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari umum ke khusus)
3. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara: (a) menyusun konsep sementara; (b) melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain; dan (c) merevisi dan mengembangkan konsep.
4. Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekan secara langsung apa-apa yang dipelajari.
5. Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari.
1. Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik
2. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari umum ke khusus)
3. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara: (a) menyusun konsep sementara; (b) melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain; dan (c) merevisi dan mengembangkan konsep.
4. Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekan secara langsung apa-apa yang dipelajari.
5. Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari.
2.
Bermain Peran (Role Playing)
Bermain
peran merupakan salah satu model pembelajaran yang diarahkan pada upaya
pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia
(interpersonal relationship), terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Pengalaman
belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi, kemampuan kerjasama,
komunikatif, dan menginterprestasikan suatu kejadian Melalui bermain peran,
peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antarmanusia dengan cara
memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta
didik dapat mengeksplorasi parasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan
berbagai strategi pemecahan masalah.
Dengan
mengutip dari Shaftel dan Shaftel, (E. Mulyasa, 2003) mengemukakan tahapan
pembelajaran bermain peran meliputi : (1) menghangatkan suasana dan memotivasi
peserta didik; (2) memilih peran; (3) menyusun tahap-tahap peran; (4)
menyiapkan pengamat; (5) menyiapkan pengamat; (6) tahap pemeranan; (7) diskusi
dan evaluasi tahap diskusi dan evaluasi tahap I ; (8) pemeranan ulang; dan (9)
diskusi dan evaluasi tahap II; dan (10) membagi pengalaman dan pengambilan
keputusan.
3.
Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning)
Pembelajaran
Partisipatif (Participative Teaching and Learning) merupakan model pembelajaran
dengan melibatkan peserta didik secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi pembelajaran. Dengan meminjam pemikiran Knowles, (E.Mulyasa,2003)
menyebutkan indikator pembelajaran partsipatif, yaitu : (1) adanya keterlibatan
emosional dan mental peserta didik; (2) adanya kesediaan peserta didik untuk
memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan; (3) dalam kegiatan belajar
terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
Pengembangan
pembelajaran partisipatif dilakukan dengan prosedur berikut:
1. Menciptakan suasana yang mendorong peserta didik siap belajar.
2. Membantu peserta didik menyusun kelompok, agar siap belajar dan membelajarkan
3. Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan belajarnya.
4. Membantu peserta didik menyusun tujuan belajar.
5. Membantu peserta didik merancang pola-pola pengalaman belajar.
6. Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
7. Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil belajar.
1. Menciptakan suasana yang mendorong peserta didik siap belajar.
2. Membantu peserta didik menyusun kelompok, agar siap belajar dan membelajarkan
3. Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan belajarnya.
4. Membantu peserta didik menyusun tujuan belajar.
5. Membantu peserta didik merancang pola-pola pengalaman belajar.
6. Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
7. Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil belajar.
4.
Belajar Tuntas (Mastery Learning)
Belajar
tuntas berasumsi bahwa di dalam kondisi yang tepat semua peserta didik mampu
belajar dengan baik, dan memperoleh hasil yang maksimal terhadap seluruh materi
yang dipelajari. Agar semua peserta didik memperoleh hasil belajar secara
maksimal, pembelajaran harus dilaksanakan dengan sistematis. Kesistematisan
akan tercermin dari strategi pembelajaran yang dilaksanakan, terutama dalam
mengorganisir tujuan dan bahan belajar, melaksanakan evaluasi dan memberikan
bimbingan terhadap peserta didik yang gagal mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Tujuan pembelajaran harus diorganisir secara spesifik untuk
memudahkan pengecekan hasil belajar, bahan perlu dijabarkan menjadi
satuan-satuan belajar tertentu,dan penguasaan bahan yang lengkap untuk semua
tujuan setiap satuan belajar dituntut dari para peserta didik sebelum proses
belajar melangkah pada tahap berikutnya. Evaluasi yang dilaksanakan setelah
para peserta didik menyelesaikan suatu kegiatan belajar tertentu merupakan
dasar untuk memperoleh balikan (feedback). Tujuan utama evaluasi adalah
memperoleh informasi tentang pencapaian tujuan dan penguasaan bahan oleh
peserta didik. Hasil evaluasi digunakan untuk menentukan dimana dan dalam hal
apa para peserta didik perlu memperoleh bimbingan dalam mencapai tujuan,
sehinga seluruh peserta didik dapat mencapai tujuan ,dan menguasai bahan
belajar secara maksimal (belajar tuntas).
Strategi
belajar tuntas dapat dibedakan dari pengajaran non belajar tuntas dalam hal
berikut : (1) pelaksanaan tes secara teratur untuk memperoleh balikan terhadap
bahan yang diajarkan sebagai alat untuk mendiagnosa kemajuan (diagnostic
progress test); (2) peserta didik baru dapat melangkah pada pelajaran
berikutnya setelah ia benar-benar menguasai bahan pelajaran sebelumnya sesuai
dengan patokan yang ditentukan; dan (3) pelayanan bimbingan dan konseling
terhadap peserta didik yang gagal mencapai taraf penguasaan penuh, melalui
pengajaran remedial (pengajaran korektif).
Strategi
belajar tuntas dikembangkan
oleh Bloom, meliputi tiga bagian, yaitu: (1) mengidentifikasi pra-kondisi; (2)
mengembangkan prosedur operasional dan hasil belajar; dan (3c) implementasi
dalam pembelajaran klasikal dengan memberikan “bumbu” untuk menyesuaikan dengan
kemampuan individual, yang meliputi : (1) corrective technique yaitu semacam
pengajaran remedial, yang dilakukan memberikan pengajaran terhadap tujuan yang
gagal dicapai peserta didik, dengan prosedur dan metode yang berbeda dari
sebelumnya; dan (2) memberikan tambahan waktu kepada peserta didik yang
membutuhkan (sebelum menguasai bahan secara tuntas).
Di
samping implementasi dalam pembelajaran secara klasikal, belajar tuntas banyak
diimplementasikan dalam pembelajaran individual. Sistem belajar tuntas mencapai
hasil yang optimal ketika ditunjang oleh sejumlah media, baik hardware maupun
software, termasuk penggunaan komputer (internet) untuk mengefektifkan proses
belajar.
5.
Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction)
Modul
adalah suatu proses pembelajaran mengenai suatu satuan bahasan tertentu yang
disusun secara sistematis, operasional dan terarah untuk digunakan oleh peserta
didik, disertai dengan pedoman penggunaannya untuk para guru. Pembelajaran
dengan sistem modul memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.
Setiap modul harus memberikan informasi dan petunjuk pelaksanaan yang jelas
tentang apa yang harus dilakukan oleh peserta didik, bagaimana melakukan, dan
sumber belajar apa yang harus digunakan.
2. Modul meripakan pembelajaran individual, sehingga mengupayakan untuk melibatkan sebanyak mungkin karakteristik peserta didik. Dalam setiap modul harus : (1) memungkinkan peserta didik mengalami kemajuan belajar sesuai dengan kemampuannya; (2) memungkinkan peserta didik mengukur kemajuan belajar yang telah diperoleh; dan (3) memfokuskan peserta didik pada tujuan pembelajaran yang spesifik dan dapat diukur.
3. Pengalaman belajar dalam modul disediakan untuk membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran seefektif dan seefisien mungkin, serta memungkinkan peserta didik untuk melakukan pembelajaran secara aktif, tidak sekedar membaca dan mendengar tapi lebih dari itu, modul memberikan kesempatan untuk bermain peran (role playing), simulasi dan berdiskusi.
4. Materi pembelajaran disajikan secara logis dan sistematis, sehingga peserta didik dapat menngetahui kapan dia memulai dan mengakhiri suatu modul, serta tidak menimbulkan pertanyaaan mengenai apa yang harus dilakukan atau dipelajari.
5. Setiap modul memiliki mekanisme untuk mengukur pencapaian tujuan belajar peserta didik, terutama untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik dalam mencapai ketuntasan belajar.
2. Modul meripakan pembelajaran individual, sehingga mengupayakan untuk melibatkan sebanyak mungkin karakteristik peserta didik. Dalam setiap modul harus : (1) memungkinkan peserta didik mengalami kemajuan belajar sesuai dengan kemampuannya; (2) memungkinkan peserta didik mengukur kemajuan belajar yang telah diperoleh; dan (3) memfokuskan peserta didik pada tujuan pembelajaran yang spesifik dan dapat diukur.
3. Pengalaman belajar dalam modul disediakan untuk membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran seefektif dan seefisien mungkin, serta memungkinkan peserta didik untuk melakukan pembelajaran secara aktif, tidak sekedar membaca dan mendengar tapi lebih dari itu, modul memberikan kesempatan untuk bermain peran (role playing), simulasi dan berdiskusi.
4. Materi pembelajaran disajikan secara logis dan sistematis, sehingga peserta didik dapat menngetahui kapan dia memulai dan mengakhiri suatu modul, serta tidak menimbulkan pertanyaaan mengenai apa yang harus dilakukan atau dipelajari.
5. Setiap modul memiliki mekanisme untuk mengukur pencapaian tujuan belajar peserta didik, terutama untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik dalam mencapai ketuntasan belajar.
Pada
umumnya pembelajaran dengan sistem modul akan melibatkan beberapa komponen,
diantaranya : (1) lembar kegiatan peserta didik; (2) lembar kerja; (3) kunci
lembar kerja; (4) lembar soal; (5) lembar jawaban dan (6) kunci jawaban.
Komponen-komponen
tersebut dikemas dalam format modul, sebagai berikut :
1.
Pendahuluan; yang berisi deskripsi umum, seperti materi yang disajikan,
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan dicapai setelah belajar, termasuk
kemampuan awal yang harus dimiliki untuk mempelajari modul tersebut.
2. Tujuan Pembelajaran; berisi tujuan pembelajaran khusus yang harus dicapai peserta didik, setelah mempelajari modul. Dalam bagian ini dimuat pula tujuan terminal dan tujuan akhir, serta kondisi untuk mencapai tujuan.
3. Tes Awal; yang digunakan untuk menetapkan posisi peserta didik dan mengetahui kemampuan awalnya, untuk menentukan darimana ia harus memulai belajar, dan apakah perlu untuk mempelajari atau tidak modul tersebut.
4. Pengalaman Belajar; yang berisi rincian materi untuk setiap tujuan pembelajaran khusus, diikuti dengan penilaian formatif sebagai balikan bagi peserta didik tentang tujuan belajar yang dicapainya.
5. Sumber Belajar; berisi tentang sumber-sumber belajar yang dapat ditelusuri dan digunakan oleh peserta didik.
6. Tes Akhir; instrumen yang digunakan dalam tes akhir sama dengan yang digunakan pada tes awal, hanya lebih difokuskan pada tujuan terminal setiap modul
2. Tujuan Pembelajaran; berisi tujuan pembelajaran khusus yang harus dicapai peserta didik, setelah mempelajari modul. Dalam bagian ini dimuat pula tujuan terminal dan tujuan akhir, serta kondisi untuk mencapai tujuan.
3. Tes Awal; yang digunakan untuk menetapkan posisi peserta didik dan mengetahui kemampuan awalnya, untuk menentukan darimana ia harus memulai belajar, dan apakah perlu untuk mempelajari atau tidak modul tersebut.
4. Pengalaman Belajar; yang berisi rincian materi untuk setiap tujuan pembelajaran khusus, diikuti dengan penilaian formatif sebagai balikan bagi peserta didik tentang tujuan belajar yang dicapainya.
5. Sumber Belajar; berisi tentang sumber-sumber belajar yang dapat ditelusuri dan digunakan oleh peserta didik.
6. Tes Akhir; instrumen yang digunakan dalam tes akhir sama dengan yang digunakan pada tes awal, hanya lebih difokuskan pada tujuan terminal setiap modul
Tugas
utama guru dalam pembelajaran sistem modul adalah mengorganisasikan dan
mengatur proses belajar, antara lain : (1) menyiapkan situasi pembelajaran yang
kondusif; (2) membantu peserta didik yang mengalami kesulitan dalam memahami
isi modul atau pelaksanaan tugas; (3) melaksanakan penelitian terhadap setiap
peserta didik.
6.
Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran
inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh
kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau
peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat
merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Joyce
(Gulo, 2005) mengemukakan kondisi- kondisi umum yang merupakan syarat bagi
timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1) aspek sosial di dalam kelas
dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi; (2)
berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan (3) penggunaan fakta
sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan
reliabilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis,
Proses
inkuiri dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1.
Merumuskan masalah; kemampuan yang dituntut adalah : (a) kesadaran terhadap
masalah; (b) melihat pentingnya masalah dan (c) merumuskan masalah.
2. Mengembangkan hipotesis; kemampuan yang dituntut dalam mengembangkan hipotesis ini adalah : (a) menguji dan menggolongkan data yang dapat diperoleh; (b) melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis; dan merumuskan
3. Menguji jawaban tentatif; kemampuan yang dituntut adalah : (a) merakit peristiwa, terdiri dari : mengidentifikasi peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi data; (b) menyusun data, terdiri dari : mentranslasikan data, menginterpretasikan data dan mengkasifikasikan data.; (c) analisis data, terdiri dari : melihat hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan trend, sekuensi, dan keteraturan.
4. Menarik kesimpulan; kemampuan yang dituntut adalah: (a) mencari pola dan makna hubungan; dan (b) merumuskan kesimpulan
5. Menerapkan kesimpulan dan generalisasi
Guru dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai konselor, DLL.
2. Mengembangkan hipotesis; kemampuan yang dituntut dalam mengembangkan hipotesis ini adalah : (a) menguji dan menggolongkan data yang dapat diperoleh; (b) melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis; dan merumuskan
3. Menguji jawaban tentatif; kemampuan yang dituntut adalah : (a) merakit peristiwa, terdiri dari : mengidentifikasi peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi data; (b) menyusun data, terdiri dari : mentranslasikan data, menginterpretasikan data dan mengkasifikasikan data.; (c) analisis data, terdiri dari : melihat hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan trend, sekuensi, dan keteraturan.
4. Menarik kesimpulan; kemampuan yang dituntut adalah: (a) mencari pola dan makna hubungan; dan (b) merumuskan kesimpulan
5. Menerapkan kesimpulan dan generalisasi
Guru dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai konselor, DLL.
DAFTAR
PUSTAKA
§ Dimyati dan Mudjiono. (2006). Teori
Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud berkerjasama dengan Rineka
§ http://nic.unud.ac.id
§ http://konselingindonesia.
§ Siregar, Eveline dan Nara, Hartini.
(2007). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta